ARSIP EKONOMI ISLAM - Surya Suwarna

Surya Suwarna

menulis = berbicara .......

test banner

Post Top Ad

Responsive Ads Here

ARSIP EKONOMI ISLAM


ETOS KERJA ISLAM 
OLEH : SURYA SUWARNA
 

BAB I
PENDAHULAN

A.    Latar Belakang
 apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung ( Q.S Al – Jumuah : 10 )
Diturunkannya manusia  ke bumi ini tiada lain hanya untuk beribadah kepada Allah SWT Tuhan semesta  alam, dimana atas sifat kasih sayang  Nya kita diberi hamparan  kenikmatan seluas luasnya baik nimat jasmani dan nikmat rohani  namun tidak sedikit dari kita yang mengkufuri nikmat-nikmat yang telah di berikan Allah SWT tersebut, Bahkan Allah SWT sendiri  dalam kitab Suci Al Qur’an mengancam atas orang orang yang mengkufuri nikmat tersebut dengan Azab yang sangat pedih.
            Salah satu aktualisasi mensyukuri nikmat yang telah di berikan oleh Allah adalah dengan bekerja , dimana dalam bekerja tidak hanya menjadi patokan sebagai kegiatan yang ditujukan  untuk mengumpulkan harta sebanyak banyaknya tetapi bagaimana  didalam semua  proses kegiatan bekerja tersebut  menjadi nilai ibadah dan ladang  amal seseorang kepada Allah SWT .
            Dalam Hadist yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan Baihaqi bahwa Rasulullah Saw. Bersabda. “ Mencari rezeki yang halal adalah wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat dan puasa).”.  Maka agar sejalanan dengan nilai ibadah dalam setiap kegiatan berekerja kita  tentunya ketika kita melakukan kegiatan bekerja tersebut  harus pula dipupuk dengan sikap etos kerja yang sesuai dengan nilai – nilai islami.


B.     Rumusan Masalah :
1.      Apa hakikat etos kerja Islami
2.      Bagaimana etika kerja dalam Islam
3.      Bagaimana Konsep Al Qur’an tentang etos kerja
C.    Metode penulisan
Makalah ini disusun berdasarkan sumber yang kami peroleh dari buku dan internet
D.    Sistematika Penulisan

BAB I                               Pendahuluan
A.  Latar Belakang
B.  Rumusan Masalah
C.  Metode Penulisan
D.  Sistematika Penulisan
BAB II                              Pembahasan
BAB III                            Penutup
Kesimpulan
Daftar Pustaka/Referensi

BAB II
PEMBAHASAN

  1. HAKIKAT ETOS KERJA ISLAMI
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etos adalah pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial. Adapun etos atau akhlak dalam terminologi Prof. Dr. Ahmad Amin[1] adalah membiasakan kehendak. Kesimpulannya, etos adalah sikap yang mendasar yang melahirakan perbuatan-perbuatan dengan mudah dalam pola hubungan  anatara manusai dengan dirinya dan diluar dirinya.
Secara singkat kerja dapat di definisikan sebagai kegiatan melakukan sesuatu; yang dilakukan (diperbuat ), dalam pengertian kerja sendiri islam memiliki pengertian luas namun demikian jika menghendaki penyempitan pengertian (dengan tidak memasukkan kategori pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan ibadah dan aktivitas spiritual) maka pengertian kerja dapat ditarik pada garis tengah, sehingga mencakup seluruh jenis pekerjaan yang memperoleh keuntungan (upah), dan pengertian tersebut  sesuai  dengan makna khusus kerja dalam islam dapat diartikan sebagai usaha yang menjadi salah satu unsur terpenting dan titik tolak bagi kegitatan ekonomi seluruhnya dimana makna kerja sendiri terbagi menjadi  dua yaitu kerja secara jasmani dan kerja secara akal/pikiran (mental).
M. Quraish Shihab,   Kerja didefinisikan sebagai penggunaan daya. Manusia secara garis besar dianugerahi Allah empat daya pokok, yaitu Daya Fisik, yang menghasilkan kegiatan fisik dan keterampilan, Daya pikir yang mendorong  pemiliknya berpikir dan menghasilkan ilmu pengetahuan, Daya Kalbu yang menjadikan manusia mampu berkhayal, mengekspresikan keindahan serta beriman dan merasakan serta berhubungan dengan Allah Sang Pencipta, dan Daya Hidup, yang menghasilkan semangat juang, kemampuan menghadapi tantangan serta menanggulangi kesulitan. Penggunaan salah satu dari daya-daya tersebut – betapapun sederhananya – melahirkan kerja, atau amal.
Etos kerja muslim didefinisikan sebagai sikap yang ditumbukan oleh pribadi muslim dalam bekerja dengan penuh totalitas dan semangat dalam menjalani aktifitas setiap kegiatan bekerjanya guna memuliakan diri, menampakan kemanusiaannya, serta berkeyakinan bahwa bekerja adalah salah satu ladang amal shaleh guna mendekatkan diri kepada Allah yang dilandasi dengan niatan Lillahita’ala.
      Dalam menjalani hidup etos kerja islami  tidak boleh lepas bagi setiap orang yang beriman, Karena pada hakikatnya kehidupan dunia ini bersifat sementara sedangkan tujuan akhir dan utama adalah kehidupan akhirat dan pencerminan sikap kerja islami merupakan salah satu bukti pengabdian diri kepada sang Khaliq. Sebagaimana Firman Allah, “ Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.(QS. adz-Dzaariyat : 56).
Kegiatan bekerja merupakan bagian dari praktek  mua’malah oleh karena itu dalam pemaknaan kerja juga memperhatikan macam pekerja, adapun macam pekerja sebagai berikut :
1.      al-Hirafiyyin; mereka yang mempunyai lapangan kerja, seperti penjahit, tukang kayu, dan para pemilik restoran. Dewasa ini pengertiannya menjadi lebih luas, seperti mereka yang bekerja dalam jasa angkutan dan kuli.
2.      al-Muwadzofin: mereka yang secara legal mendapatkan gaji tetap seperti para pegawai dari suatu perusahaan dan pegawai negeri.
3.      al-Kasbah: para pekerja yang menutupi kebutuhan makanan sehari-hari dengan cara jual beli seperti pedagang keliling.
4.      al-Muzarri’un: para petani.

B.     ETIKA KERJA DALAM ISLAM
Al Qur’an tidak hanya memerintahkan asal bekerja saja, tetapi bekerja dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati. Al Qur’an tidak memberi  peluang kepada seseorang untuk tidak melakukan suatu aktivitas kerja sepanjang saat yang dialaminya dalam kehidupan di dunia ini.
Untuk  membuktikan dan meraih anugrah-Nya, Allah SWT, menyeru kita untuk bergerak dinamis menyambut rezeki-Nya. Rezeki adalah segala sesuatu yang diperoleh manusia yang bermanfaat baginya atau perolehan yang digunakan untuk memenuhi hajat dan kemaslahatannya[2]. Maka dalam memperoleh rezeki bukan hanya dengan berdiam diri tetapi dengan berusaha meraihnya  disertai dengan berdo’a. Bekerja merupakan bentuk ibadah- ibadah yang kualitasnya sama dengan ibadah-ibadah lain.
Kerja keras atau dalam kata lain disebut dengan etos kerja adalah merupakan prasyarat ,mutlak untuk dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat, sebab dengan etos kerja yang tinggi akan melahirkan produktifitas yang tinggi pula. Oleh karena itulah maka agama Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap kerja keras dan etos kerja sebab hanya dengan itulah maka kebahagiaan di dunia dan di akhirat dapat diraih sekaligus.        
Abu Hurairah RA mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya ada dosa-dosa yang tidak terhapuskan dengan melakukan shalat, puasa, haji, dan umrah." Para sahabat bertanya, "Lalu, apa yang dapat menghapuskannya, wahai Rasulullah SAW?" Beliau menjawab, "Bersemangat dalam mencari rezeki."
Atas dasar hal-hal tersebut di atas, dapat ditarik benang merah bahwa sesungguhnya antara penghayatan agama yang diwujudkan dalam bentuk iman yang sempurna, mempunyai hubungan timbal balik dengan etos kerja seseorang. Seseorang yang memiliki iman yang sempurna dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan memiliki etos kerja yang tinggi yang pada akhirnya meningkatkan produktifitas yang tinggi, baik dalam pekerjaan maupun dalam pelayanan nya sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.
Rasullulah Saw besabda, “ Sesungguhnya Allah mencitai seorang diantara kamu yang melakukan pekerjaaan dengan itqon ( tekun, rapi, teliti) “ itulah bunyi hadist yang diriwayatkan oleh Imam Al- Baihaqi.
Rasulullah Saw, sangat menyukai orang yang bekerja dengan penuh tantangan, ketimbang mudah putus asa atau pasrah terhadap usaha yang sedang di kerjakan, Dalam sebuah kisah Ketika Rasulullah Saw. pulang dari perang Tabuk, beliau bertemu dengan salah seorang sahabatnya, Mu’adz Ra. Ketika bersalaman, terasa oleh beliau Saw. telapak tangan Mu’adz yang kasar. Ketika berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz, Rasulullah Saw. pun melihat betapa tangannya kasar, kering dan kotor. Ketika ditanya Sa’ad menjawab bahwa tangannnya menjadi demikian karena bekerja mengolah tanah dan mengangkut air sepanjang hari. Mendengar itu Rasulullah Saw. serta merta mencium tangan Sa’ad bin Mu’adz Ra. dan bersabda: “Tangan ini dicintai Allah dan RasulNya dan tidak akan disentuh api neraka!”
Kaitan dengan hadist dan cerita Rasulullah Saw di atas tentang bekerja maka memberikan pengertian utama bahwa taqwa merupakan dasar utama dalam bekerja. Erat kaitanya dengan bentuk ketaqwaan seorang muslim adalah menerapkan etika/akhlak yang baik dalam bekerja, pencerminan akhlak menjadi aktualisasi dari keyakinan dan kepatuhan kepada Allah SWT, Tentunya dalam akhlak tersebut mengandung norma baik dan buruk, maka sepatutnya kita menjadi pribadi-pribadi yang berakhlak baik ( akhlak al-karimah ) dimana melakukan sesuatu berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Adapun akhlak dan etika bekerja seorang muslim adalah sebagai berikut :
1.      Niat Ikhlas Karena Allah SWT niatan utamanya adalah karena Allah SWT sebagai kewajiban dari Allah yang harus dilakukan oleh setiap hamba. Dan konsekwensinya adalah ia selalu memulai aktivitas pekerjaannya dengan dzikir kepada Allah.
2.      Itqan, sungguh-sungguh dan profesional dalam bekerja
Syarat kedua agar pekerjaan dijadikan sarana mendapatkan surga dari Allah SWT adalah profesional, sungguh-sungguh dan tekun dalam bekerja. iantara bentuknya adalah, tuntas melaksanakan pekerjaan yang diamanahkan kepadanya, memiliki keahlian di bidangnya dsb. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda
Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang apabila ia bekerja, ia menyempurnakan pekerjaannya. (HR. Tabrani)
3.      Sikap Jujur & Amanah

Karena pada hakekatnya pekerjaan yang dilakukannya tersebut merupakan amanah, baik secara duniawi dari atasannya atau pemilik usaha, maupun secara duniawi dari Allah SWT yang akan dimintai pertanggung jawaban atas pekerjaan yang dilakukannya. Implementasi jujur dan amanah dalam bekerja diantaranya adalah dengan tidak mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya, tidak curang, obyektif dalam menilai, dan sebagainya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:

Seorang pebisnis yang jujur lagi dapat dipercaya, (kelak akan dikumpulkan) bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada’. (HR. Turmudzi)

4.      Menjaga Etika Sebagai Seorang Muslim
Bekerja juga harus memperhatikan adab dan etika sebagai seroang muslim, seperti etika dalam berbicara, menegur, berpakaian, bergaul, makan, minum, berhadapan dengan customer, rapat, dan sebagainya. Bahkan akhlak atau etika ini merupakan ciri kesempurnaan iman seorang mu’min.
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda :

Sesempurna-sempurnanya keimanan seorang mu’min adalah yang paling baik akhlaknya (HR. Turmudzi)
5.      Tidak Melanggar Prinsip-Prinsip Syariah

Aspek lain dalam etika bekerja dalam Islam adalah tidak boleh melanggar prinsip-prinsip syariah dalam pekerjaan yang dilakukannya Tidak melanggar prinsip syariah ini dapat dibagi menjadi beberapa hal :
Pertama dari sisi dzat atau substansi dari pekerjaannya, seperti memporduksi tidak boleh barang yang haram, menyebarluaskan kefasadan (seperti pornografi), mengandung unsur riba, maysir, gharar dsb.
Kedua dari sisi penunjang yang tidak terkait langsung dengan pekerjaan, seperti risywah, membuat fitnah dalam persaingan, tidak menutup aurat, ikhtilat antara laki-laki dengan perempuan, dsb.

Hai orang-orang yang beriman, ta`atlah kepada Allah dan ta`atlah kepada rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu. (QS. Muhammad, 47 : 33)

6.       Menghindari Syubhat

Dalam bekerja terkadang seseorang dihadapkan dengan adanya syubhat atau sesuatu yang meragukan dan samar antara kehalalan dengan keharamannya. Seperti unsur-unsur pemberian dari pihak luar, yang terdapat indikasi adanya satu kepentingan terntentu. Atau seperti bekerja sama dengan pihak-pihak yang secara umum diketahui kedzliman atau pelanggarannya terhadap syariah. Dan syubhat semacam ini dapat berasal dari internal maupun eksternal.
Oleh karena itulah, kita diminta hati-hati dalam kesyubhatan ini. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda, “Halal itu jelas dan haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara-perkara yang syubhat. Maka barang siapa yang terjerumus dalam perkara yang syubhat, maka ia terjerumus pada yang diharamkan…” (HR. Muslim)

7.      Menjaga Ukhuwah Islamiyah
Aspek lain yang juga sangat penting diperhatikan adalah masalah ukhuwah islamiyah antara sesama muslim. Jangan sampai dalam bekerja atau berusaha melahirkan perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin. Rasulullah SAW sendiri mengemukakan tentang hal yang bersifat prefentif agar tidak merusak ukhuwah Islamiyah di kalangan kaum muslimin. Beliau mengemukakan, “Dan janganlah kalian membeli barang yang sudah dibeli saudara kalian” Karena jika terjadi kontradiktif dari hadits di atas, tentu akan merenggangkan juga ukhuwah Islamiyah diantara mereka; saling curiga, su’udzon dsb.

C.    AYAT-AYAT AL QUR’AN TENTANG ETOS KERJA
Selain penjabaran mengenai pengertian dan hakikat etos kerja serta etika dan ahlak yang harus dipenuhui seorang muslim dalam bekerja, maka perlu disampaikan juga beberapa ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan etos kerja seorang muslim.
Ayat Pertama
Al-Qur’an memandang bekerja keras adalah sangat penting sama dengan jihad. Hal ini di antaranya terdapat dalam An-Nisa’: 95.
Artinya : tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar
Hamka dalam tafsir Al Azhar menjelaskan bahwa ayat ini turun ketika akan terjadi perang Badar.  Beberapa riwayat menguraikan tentang ayat ini, antara lain yang dikemukakan oleh Imam Bukhari melalui sahabat Nabi, al Barra’, bahwa ketika ayat ini turun, Rasul saw. Memanggil Zaid ibn Tsabit -salah seorang penulis wahyu dan memerintahkannya untuk menulis, maka ia menulisnya. Ketika itu belum lagi turun firman  gaira ulidh dharar, maka Abdullah ibn Ummi Maktum, seorang buta mengeluh tentang kebutaannya sehingga tidak mampu ikut berperang, maka turunlah firman-Nya  ( yang mengecualikan orang-orang memiliki uzur)..
Pada ayat diatas, kata al-qa’adun (yang duduk) diperhadapkan dengan  al-mujahi>, padahal biasanya duduk diperhadapkan dengan berdiri. Mengapa demikian ? asy-Sya’rawi menjelaskan bahwa pada masa awal Islam, setiap mukmin yang memeluk Islam mengangap diri mereka pejuang, setiap saat siap memenuhi panggilan, tidak pernah sesatpun berhela-hela. Adapun yang duduk, maka ia bagikan tidak siap untuk berjuang dan tidak memiliki cirri-ciri mukmin yang baik.
Arti jihad ialah kerja keras, bersungguh-sungguh ataupun berjuang Kata jihad seringkali disalahpahami. Ini mungkin disebabkan karena ia lazim diucapkan pada saat perjuangan fisik, sehingga diidentikkan dengan perlawanan bersenjata. Kesalahpahaman itu juga disuburkan oleh pemahaman arti kata  anfus yang seringkali dibatasi hanya dalam arti jiwa, bukan diri manusia dengan segala totalitasnya. Al-Qur’an menggunakan kata nafs dan anfus antara lain dalam arti totalisa manusia dan demikian, kata  anfusihim dapat mencakup nyawa, emosi, pengetahuan, tenaga, pikiran, bahkan juga waktu dan tempat, karena manusia tidak dapat memisahkan diri dari tempat dan waktu. Dengan demikian, mujahid adalah orang yang mencurahkan seluruh kemampuannya dan berkorban atau bersedia berkorban dengan apa saja yang berkaitan dengan dirinya sendiri
Ayat Kedua
Bahwa bekerja giat (memiliki etos kerja tinggi) adalah manifestasi dari kekuatan iman seseorang, sebagaimana firman Allah SWT Q.S Al Taubah ayat 105 berikut:
Artinya : “ dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Ayat ini didahului dengan ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang perintah untuk bersedekah, kemudian perintah untuk bertaubat. Setelah mereka bertaubat, maka Allah memerintahkan untuk beramal dalam bentuk bekerja yang baik dan bermanfaat bagi dirinya maupun bagi orang lain. Allah berjanji, bahwa setiap amal perbuatan yang dilakukannya akan dilihat dan diberikan penilaian oleh Allah dan orang-orang yang beriman. Allah menjanjikan setiap amal kebaikan yang dilakukan akan diberikan balasan kebaikan oleh Allah.
Penyebutan al-mu’minun disini dimaksudkan untuk mejelaskan bahwa pembalasan dan penilaian atas hasil kerja seseorang tidak hanya dilakukan oleh Allah tetapi juga orang lain. Allah berjanji bahwa mereka akan mengetahui hasil dari seluruh amal yang dilakukannya di hari kemudian. Al-Thabathaba’i dalam tafsir al-Mizan menyebutkan bahwa ayat-ayat sebelumnya ditujukan bagi orang-orang munafiq, sementara ayat ini ditujukan bagi orang-orang mukmin.
Ayat ketiga
Etos kerja tinggi tidak sama sekali terkait persoalan gender (laki-laki atau perempuan), yang membedakan adalah dasar pengabdiannya yaitu dorongan keimanan yang shahih, sebagaimana firman Allah SWT QS An-Nahl: 97:

Artinya : “ Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. “
Ayat diatas mengemukakan tentang prinsip keadilan dalam beramal, yaitu tanpa membedakan seseorang dengan yang lain kecuali atas dasar pengabdiannya. Prinsip itu adalah: barang siapa yang mengerjakan amal saleh, apapun jenis kelaminnya, baik laki-laki maupun perempuan, sedang dia adalah mukmin yakni amal yang dilakukannya lahir atas dorongan keimanan yang shahih, maka sesungguhnya pasti akan Kami berikan kepadanya masing-masing kehidupan yang baik di dunia ini dan sesungguhnya pasti akan kami beri balasan kepada mereka semua di dunia dan di akhirat dengan pahala yang lebih baik dan berlipat ganda dari apa yang telah mereka kerjakan.
            Ayat ke empat
Meskipun Allah mewajibkan bagi setiap manusia untuk bekerja, namun Allah tidak menghendaki seseorang bekerja di luar batas kemampuan yang dimilikinya. Orang-orang yang beriman akan senantiasa memohon dan menggantungkan dirinya kepada Allah dan pertolongan dari Allah SWT. Ini relevan dengan firman Allah QS. Al Baqarah ayat 286 :

Artinya : “ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir."
Hamka dalam tafsirnya menjelaskan tidaklah ada suatu perintah didatangkan oleh Allah yang tidak akan terpikul oleh tiap-tiap diri. Tidak ada perintah yang berat, apalagi kalau iman telah ada. Seumpama perintah shalat, tidak sanggup berdiri, boleh duduk. Tidak sanggup duduk, bolehlah berbaring. Tidak ada air, boleh tayamum. Puasa di dalam musafir atau sakit, boleh diganti dihari yang lain. Zakat hanya diwajibkan kepada yang telah sampai nisab dan haul (tahunnya); yang tidak mempunyai kemampuan, tidak wajib berzakat. Naik haji, diperintahkan kalau belanja telah cukup dan perjalanan aman dan diwajibkan hanya sekali dalam seumur hidup.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN  
Telah banyak ayat ayat suci Al Qur’an dan hadits yang memuliakan orang-orang yang bekerja dan seharusnya menjadi dorongan bagi pemeluknya untuk menghayati dan menjadikan etos kerja ini sebagai bagian dari prinsip seorang muslim yang harus dijalani dan dilaksankan disetiap aktifitas hidupnya.
Bekerja selain orientasi  guna memenuhi kebutuhan pribadi juga sebagai sarana untuk beribadah sosial. Bekerja adalah segala aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani), dan didalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT.
Oleh karena itu bentuk penghayatan dan pengabdian kita kepada Allah dalam bekerja perlu diaktualisasikan dalam sikap dan etika kerja yang dinamakan etos kerja islami.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahan, Depag RI.
Quraish Shihab, 1998, Wawasan al-Qur’an, Jakarta : Mizan
Qurasih Shihab, 2004, DIA DIMANA-MANA  “ Tangan” Tuhan Di balik Setiap Fenomena, Jakarta : Lentera Hati
KH. Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja, Jakarta : Gema Insani.
………….. , 2013, Kumpulan Hikmah Republika 2011, Indahnya Kematian, Jakarta: Buku Republika
Anonim, Bekerja Tanda Bersyukur,  www.majalahhidayatullah.com , diakses 15 November 2014


[1] Prof. Dr. Ahmad Amin merupakan cendikiawan muslim asal Mesir mebuat karya tulisan yaitu , salah satunya kitab Al Akhlaq
[2]  M. Quraisih Shihab, DIA DIMANA-MANA  “ Tangan” Tuhan Di balik Setiap Fenomena, ( Jakarta : Lentera Hati, 2004), h. 383.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages